Rabu, 05 Desember 2012

Ilmu Mantiq dalam Islam dan Perkembangannya

Kata manthiq (bahasa Arab) berasal dari kata nathaqa -  yanthiqu – nuthqan/manthiqan (نطق  -  ينطق – نطقا ومنطقا   ). Jadi kata manthiq adalah mashdar mimiy dari nathaqa yanthiqu, yang artinya berkata, bertutur atau berbicara.[1] Mantiq sepadan artinya dengan logika, yang diturunkan dari kata sifat logike (bahasa Yunani) yang berhubungan dengan kata benda logos yang artinya pikiran atau kata sebagai pernyataan dari pikiran. Ini menunjukkan bahwa ada hubungan yang erat antara perkataan dengan pikiran.[2] Dengan demikian mantiq atau logika berarti berkata atau berbicara dengan menggunakan pikiran.
Kata nathaqa terdapat dalam al-Qur’an, salah satunya dalam bentuk kata kerja untuk masa sedang dan akan datang (fi’il mudhari’), yaitu  pada ayat 3 surat al-Najm.
وما ينطق عن الهوى إن هو إلا وحي يوحى   (النجم ۳)
Artinya: Dan Muhammad itu tidaklah menuturkan (al-Qur’an) karena keinginan dirinya, melainkan yang ia sampaikan itu adalah wahyu yang diwahyukan (Allah kepadanya).

Secara sederhana mantik berarti ucapan yang benar atau tutur kata yang mengandung kebenaran. Selain kata mantik juga dikenal kata logika. Istilah logika berasal dari bahasa Yunani, logos yang artinya perkataan, uraian, penuturan dan alasan.

Manfaat Ilmu Mantiq
Ilmu Mantik yang bertujuan membimbing manusia ke arah berfikir benar, logis dan sistematis mempunyai manfaat yang banyak. Di antaranya dapat dikemukakan sebagai berikut :

Membuat daya fikir menjadi lebih tajam dan berkembang melalui latihan-latihan berfikir. Oleh karenanya akan mampu menganalisis serta mengungkap permasalahan secara runtun dan ilmiah.
Membuat seseorang berfikir tepat sehingga mampu meletakkan sesuatu pada tempatnya dan mengerjakan sesuatu tepat pada waktunya (berfikir efektif dan efisien).
Membuat seseorang mampu membedakan alur pikr yang benar dan alur pikir yang keliru, sehingga dapat menghasilkan kesimpulan yang benar dan terhindar dari menarik kesimpulan yang keliru.

Pembagian Ilmu Mantiq
lmu Mantik/Logika dapat dikelompokkan menjadi beberapa pembagian menurut beberapa segi tinjauan.

Dari segi kualitasnya, dapat dibedakan menjadi 2, yaitu :
  1. Mantiq al-Fitri (Logika Naturalis), yaitu kecakapan berlogika berdasarkan kemampuan akal bawaan manusia. Akal manusia yang normal dapat bekerja sesuai hukum-hukum logika dasar. Namun kemampuan logika naturalis setiap orang berbeda-beda tergantung dari tingkat pengetahuannya. Untuk menyelesaikan masalah-masalah kehidupannya manusia dapat berpikir sesuai dengan tingkat pengetahuannya. Tapi untuk menyelesaikan masalah-masalah yang rumit, yang tidak bisa diatasi oleh mantiq al-fitri, manusia menyusun patokan-patokan dalam berpikir.
  2. Mantiq as-Suri (Logika Artifisialis/Logika Ilmiah), yaitu logika yang disusun berdasarkan patokan-patokan, rumus-rumus berpikir yang bertugas membantu kemampuan logika alamiah manusia, agar lebih tajam, halus dan dapat berfikir lebih teliti, efisien dan mudah. Mantiq inilah yang menjadi pembahasan kita.


Dilihat dari metodenya, dapat dibedakan menjadi 2 pula, yaitu:
  • Mantiq al-Qadim (Logika Tradisional), yaitu : logika yang disusun berdasarkan metode logika Aristoteles, yang sudah ada sejak abad ke-4 SM.
  • Mantiq al-Hadits (Logika Modern), yaitu logika yang ditemukan kemudian yang berbeda dari metode logika Aristoteles,yang dimulai sejak Raymundus Lullus menemukan metode baru logika yang disebut Ars Magna pada abad XIII M.
Dilihat dari obyeknya, dikenal 2 pembagian, yaitu :
  1. Mantiq as-Suwari (Logika formal), yaitu corak logika yang menggunakan cara berpikir deduktif (dari kebenaran umum menuju permasalahan khusus). Logika formal mempelajari dasar-dasar persesuaian dalam pemikiran dengan menggunakan hukum-hukum, rumus-rumus dan patokan berfikir benar.
  2. Mantiq al-maddi (Logika material), yaitu corak logika yang menggunakan cara berfikir induktif  (dari peristiwa-peristiwa khusus ditarik kesimpulan umum). Logika material mempelajari dasar-dasar persesuaian pikiran dengan kenyataan. Ia menilai hasil kerja logika formal dan menguji benar tidaknya dengan kenyataan empiris.
Sumber :  http://azhariahkhalida.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar